Jumat, 14 Januari 2011

Dinamika Sepak Bola Tanpa Batas

Supporter – Olahraga sepak bola merupakan olahraga yang paling digandrungi dialam jagad raya ini. Meskipun tema diatas adalah tentang sepak bola, akan lebih realistisnya jika penulis mengupas dari segi global yang sedang dialami oleh bangsa kita saat ini. Sepak bola merupakan salah satu olahraga yang penulis yakini semua pasti bisa melakukannya. Akan tetapi kita sadar dengan apa yang dikatakan oleh filsuf lama yaitu ”serahkanlah sesuatu pada ahlinya”. Dengan ini hemat saya, kita dituntut untuk menyadari bahwa yang ahlilah yang dapat memainkan olahraga sepakbola dengan sebaik – baiknya. Dan yang tak kalah pentingnya pada kalimat filsuf diatas harus diadakan dalam tataran pengurus PSSI.
Sekarang sepak bola kita (Indonesia), sedang mengalami masa transisi dari kegelapan menuju keterangan. Ketika kita terngiang melihat dan mendengar sponsor dilayar televisi yang mengatakan, ”kapan Indonesia bisa masuk piala dunia?”. Kita pasti merasa sedih, gundah dan mungkin akan semakin semangat untuk terlecut menggapainya. Akan lebih realistis jika penulis khususnya dan pembaca umumnya melihat realitas yang sedang dialami oleh sepak bola kita sekarang, artinya akan lebih ngejreng bila kita melihat kedalam dari dalam wajah persepak bolaan Indonesia.
Indonesia yang konon katanya kaya akan hasil alamnya dan luas wilayahnya memilih dari sebelas orang untuk mengisi line-up starter untuk mengisi barisan kesebelasan merah putih sangat sulit. Ini disebabkan oleh ogoisme para petinggi bola kita, (sebut saja PSSI), yang cenderung hobi melakukan pembinaan pemain instan.     Alih – alih melakukan regenerasi pemain, PSSI malah ingin mengadopsi pemain asing. Kapan sepak bola kita (Indonesia) akan maju dan berjaya bila yang dibina pemain dari negara lain.
Pembinaan pemain instan PSSI, dapat kita lihat pada timnas U-23, yang dikirimkan ke Belanda pada tahun 2007 lalu. Timnas U-23 yang diproyeksikan untuk mengikuti kejuaraan Sea Games Qatar, disekolahkan sepak bola dinegara Belanda. Selama kurang lebih enam bulan timnas U-23 berada di negara Belanda tersebut. Pengiriman yang konon merogoh kocek sebesar 20 M tersebut, memang tampil bermain di Sea Games Qatar, namun hasil nihilistis dan mengecewakan yang lagi – lagi harus diterima Indonesia. Timnas U-23 yang harus menelan pilpahit dengan dihajar Iran 6 gol tanpa balas, dan yang tak kalah mengecewakannya adalah tak satu golpun yang dapat disarangkan oleh pemain Indonesia U-23 pada waktu itu.
Selain pembinaan pemain secara instan, PSSI juga tidak serius dan komitmen untuk memajukan sepak bola kita. Ketidak seriusan dan ketidak komitmenan ini dapat kita lihat pada sistem liga yang berubah – ubah, pembinaan pemain muda instan, tentang kuota pemain asing, jumlah tim peserta ,dan jadwal yang tidak pasti.
Awal mula Liga sepak bola Indonesia adalah Perserikatan dan Galatama. Dari Perserikatan dan Galatama tersebut kemudian PSSI melebur menjadi satu dan mengememasnya menjadi Liga Indonesia. Tidak berhenti disitu, PSSI pun merubah format Liga dengan sistem dua wilayah. Sistem dua wilayah tersebut hanya dapat bertahan seumur jagung, dengan menghadirkan sistem Liga satu wilayah kembali Disisni PSSI seolah – olah mencari format yang ideal untuk persepak bolaan Indonesia.  Dikemudian hari PSSI dituntut untuk membentuk suatu badan hukum dalam ranah sepak bola oleh badan tertinggi sepak bola dunia yaitu FIFA, tak khayal PSSI lalu membentuk satu tingkatan Liga lagi yang kita kenal sekarang dengan sebutan Indonesia Super Ligue (ISL).
Sepak Bola dan Gemuruh Politik Indonesia
Disadari atau tidak dalam ranah sepak bola bukan hanya di negara kita (Indonesia), warna – warna politik telah mengontaminasinya. Sebut saja pada Italia. Negara pizza yang tahun 2006 kemarin telah berhasil menjuarai piala dunia di Jerman. Prestasi yang diraih Italia tercoreng dengan skandal calciopolli(pengaturan skore) yang menerpa liga serie A Italia. Tak khayal peristiwa tersebut membuat Franco Carraro presiden  FIGC (PSSI nya Italia), mengundurkan diri dari jabatannya. Ironis memang jika kita melihat apa  yang terjadi di Indonesia. Jelas – jelas sudah terganjal skandal korupsi, sang pemimpin tidak mau legowo mengundurkan diri. Alih – alih mengundurkan diri, diminta mundur dan sudah jadi pesakitanpun masih ngotot ingin memimpin.
Mahatma Gandhi memanifeskan bahwa ” sesungguhnya alam raya ini mampu memenuhi setiap kebutuhan manusia, akan tetapi tidak dengan kerakusannya”.Memotret lalu memajang didepan cermin kita tentang manifesto Mahatma Ghndahi, memang perlu gunanya untuk intropeksi diri dalam hal tersebut. Namun apakah konyol kiranya bila kita bertanya pada Mahatma Ghandi dengan pertanyaan ”bagaimana kalau kerakusan dalams  ranah – ranah kekuasaan ??”
Italia tetap Italia, mereka tetap memiliki prestasi tersebut. Negara konflik seperti Pantai Gading dan negara miskin macam Togo, masih bisa berprestasi di piala dunia. Negara kita (Indonesia) yang konon katanya negara luas wilayahnya dan kaya akan penghasilan alam, memilih sebelas orang dari sekian ribu juta jiwa penduduknya guna mengisi line-up skuad tim merah putih (sebutan Timnas sepak bola kita) masih sulit kenyataannya.
PSSI Harus Intropeksi Diri.
”Serahkanlah sesuatu pada ahlinya”, itulah suara filsafat moral. Selain dari tataran pemain seharusnya dari tataran pengurus PSSI dan stakeholder (pihak – pihak terkait) harus sadar diri. Mereka tidak boleh mengedepankan kepentingan – kepentingan pribadi (vested interes private), maupun kepentingan golongan. Pemimpin PSSI pun tidak harus dari golongan kader partai. Yang terjadi sekarang PSSI telah terkontaminasi oleh                 golongan – golongan yang tidak tahu tentang sistem – sistem sepak bola. Kapan sepak bola kita akan maju bila stakeholder (pihak – piha terkait) bukan seorang yang tahu tentang sistem sepak bola.
PSSI membutuhkan seorang pemimpin yang tidak harus jebolan kampus besar maupun seorang kader partai. Sekarang PSSI membutuhkan orang – orang yang profosionalis dan mengerti sepakbola lebih-lebih mau berkorban untuk PSSI. Bukan malah mengorbankan PSSI. Publikpun rindu kesebelasan Indonesia mengangkat tropi piala terlebih mengikuti piala dunia.
Jangankan masuk piala dunia, kita (Indonesia) sudah ketinggalan jauh oleh negara tetantgga seperti Thailand, Singapura, Malaysia dan Vietnam yang dulu menimba ilmu sepak bola pada negara kita. Maka tak pelak muncullah guyonan publik ”dari segi prestasi jeblok, dari  segi suporter bentrok dan katrok!!!!”
Visi sepak bola Indonesia menuju industri tahun 2020 yang diusung oleh pengurus periode baru, periode 2007-2011 sulit tercapai jika PSSI masih tidak konsisten dalam melakukan pembinaan pemain muda dan melaksanakan kompetisi Liga Indonesia dengan baik.
Pembinaan Pemain Instanisme PSSI
Sedap dan enak rasanya. Itulah tawaran yang ditulis oleh salah satu produk makanan, dinegara kita. Namun penulis disini tidak bermaksud untuk turut mensponsorkan iklan makanan tersebut. Akan lebih ngejrengnya penulis mengajak untuk melihat program instanisme yang telah hadir dalam pembinaan pemain muda oleh PSSI.
Pandangan penulis masih melekat tentang pengiriman timnas primavera ke Italia, untuk menimba ilmu sepak bola, namun dalam cacatan penulis dan mungkin pembaca sekali lagi nihilistis yang didapat. Tidak berhenti pada pengiriman timnas primavera ke Italia, dalam cacatan buku penulis masih terjadi pengiriman – pengiriman instan yang lain yaitu pengiriman pemain Timnas Primavera disusul dengan pengiriman yang kali ini berlabel timnas Garuda I dan timnas Garuda II. Hasil dari program itupun tak jauh beda dari hasil – hasil progam pembinaan instan diatas.
Kenapa Harus Guss Hiddink??
Rumput tetangga lebih hijau dari pada rumput kita”, konon pepatah mengatakan. Namun pepatah tidak mengharuskan kita untuk mengadopsi semua dari  kata – kata patahnya. Dalam cacatan penulis telah tertulis bahwa tahun 2022 seorang taktician (baca pelatih) bertangan dingin asal Belanda yaitu Guss Hiddink, diminta oleh salah satu petinggi di negeri kita untuk menyentuhkan tangan dinginnya ke dalam sepak bola Indonesia. Respon positif memang didapat oleh publik, dengan sudinya Guss Hidink memoles timnas merah putih. Guss Hidink diyakini seorang pelatih yang mempunyai hoki dalam kariernya. Itupun tak lepas dari torehan Hidink yang berhasil membawa Korea Selatan ke semi final piala dunia 2002 lalu. Karier hoki Guss Hidink tak berhenti di Korea Selatan, tangan dingin Hidink kembali ikut andil membawa negara kangguru (Australia) ke perempat final piala dunia 2006 Jerman. Sungguh disayang Australia harus angkat koper lebih dulu, atas keputusan kontrofersial wasit yang menghadiai tendatang jarak 12 pas (tendangan pinalti) kepada Italia. Tactician kelahiran Belanda tersebut juga mampu membawa negara Beruang Putih (Rusia) ke semi final Euro 2008 Swis – Auastria lalu. Tak tanggung – tangguung ke profisionalan Hidink pun mulus teruji dengan menjungkalkan tim asal kelahirannya yaitu Belanda pada babak perempat final. Padahal Belanda yang digadang – gadang sebagai salah satu kandidat kuat juara pada kejuaraan empat tahunan yang diikuti oleh negara – negara benua biru (Benua Eropa) pada waktu itu. Sayang anak asuh sitangan dingin (Guss Hidink), terhenti oleh tim matador Spain yang pada waktu itu menjadi juara Euro 2008.
Torehan prestasi tersebutlah yang mungkin membuat salah satu petinggi negara kita kepincut oleh sosok seorang Guss Hidink. Namun kenapa harus Guss Hidink?? Apakah negeri ini sudah kehabisan stock bahkan mungkin tidak punya stock pelatih (tactician) seperti Guss Hidink?. Memang kita sadar saat ini Indonesia belum memiliki tactician (pelatih) sekaliber Guss Hidink. Namun kita harus yakin dan tidak menutup kemungkinan bisa mencetak embrio – embrio sekaliber Guss Hidink. Jalannya tak lain adalah memberikan kepercayaan terhadap pelatih lokal. Dan prestasi yang telah ditorehkan oleh Guss Hidink tidak sepenuhnya dapat kita jadikan barometer suatu keberhasilan.
Timnas sepak bola kita tak jarang dilatih oleh couch (pelatih) asing. Namun hanya Tony Pogacknik dalam cacatan penulis yang dikira timnas kita pernah mengukir prestasi. Pasca hengkangnya Tony, hanya sensasi pelatih asinglah yang dilakukan oleh PSSI. Dan akhirnya penulis dengan berat hati, namun ringan tangan memilah lalu memilih sepenggal kalimat Eros Chandra yaitu ”mengapa harus hitam bila putih menyenangkan”.
Retorika Pencalonan Indonesia Tuan Rumah Piala Dunia 2022.
Issue bahwa Indonesia mencalonkan sebagai tuan rumah piala dunia 2022 sudah terdengar santer publik. Mudah – mudahan pencalonan Indonesia sebagai tuan rumah  tersebut dapat tercapai. Dengan singkat, jelas, padat dan  juga hebat bila melihat Indonesia berlaga di piala dunia. Bayolan ”kapan Indonesia bisa masuk piala dunia” tahun 2022 jawabannya, apabila Indonesia benar – benar menjadi tuan rumah piala  tahun 2022 mendatang. Mengapa tidak, atauran bahwa tuan rumah mendapat tiket lolos otomatis akan didapat Indonesia.
Lebih cepat lebih baik, bumi semakin tua, artinya mengapa harus menunggu tahun 2022. Indonesia saat ini sangat – sangat merindukan kesebelasan merah putih mengangkat tropi piala. Singkat kata, kita jangan sampai terbawa arus euforia tentang pencalonan piala dunia 2022, kita harus melipat sembari membuka dan kemudian  mengeja. Maksudnya adalah agenda yang harus kita prioritaskan adalah membangun jatidiri bangsa melalui prestasi sepak bola. Tahun 2022 akan kita tunggu kedatangannya dengan persiapan – persiapan yang matang. Pembangunan – pembanguna sarana dan prasarana sepak bola harus dimulai detik ini. Indonesia akan  tersenyum apabila  timnasnya mengukir prestasi. Pencalonan Indonesia sebagai tuan rumah piala dunia 2022 itu hal lain, Indonesia akan mencuri deadlin bila mana timnasnnya dapat bermain bagus.
Munculnya issue pencalonan Indonesia sebagai tuan rumah piala dunia 2022, kita tahu bertepatan dengan moment perebutan kursi kasta tertinggi di negri kita  (Pilpres 2009). Sadar saya, mungkin tidak sedikit masyarakat tahu dibalik semua itu. Akhirnya penulis mengharap kepada semua element bangsa mendukung hal – hal tersebut. Dan coretan klimaks penulis (Bravo Timnas Merah Putih ku !!).
Kau Yang Tak Mau Memberi Mampuslah Kau Ditikam PSSI !!
Kau yang tak mau memberi mampuslah kau ditikam sepi” (Khiril Anwar). Namun ijinkanlah penulis ini memberi mandukasi spesifik terhadap sepak bola Indonesia dengan sepenggal kalimat ” kau yang tak mau memberi mampuslah kau ditikam PSSI”. Pendek kata, kita akan selalu di anjurkan untuk memberi dari banyak segi terhadap sepak bola kita, lebih – lebih saranisme, motifasisme, apresiasisme, dan bila perlu me – me yang lain. Sudah tertulis diatas bahwa sepak bola kita (Indonesia) sedang mengalami           masa – masa transisi gelap menuju terang. Bilamana kegelapan tersebut tiada seruan nurani yang sudi melenterai, maka jalan keteranganpun akan sulit tercapai
Wajah  Suporter Sepak Bola Indonesia.
Perminan sepak bola bersifat timbal balik. Dengan sifatnya terebut jelas sepak bola tidak bisa dimainkan sendiri. Dalam prakteknya, sepak bola merupakan interaksi dua pihak yang saling berlawanan dala suatu permainan untuk merebutkan hadiah tertinggi, yaitu kemenangan. Kehadiran suporter memang diakui banyak membantu untuk sebuah tim. Suporterpun dikenal dengan sebutan pemain ke dua belas. Keberadaan pendukung atau suporter merupakan salah satu pilar penting dalam sebuah pertandingan sepak bola, agar suasana tidak terasa hambar dan tanpa makna. Keberadaan suporter dapat menjadikan energi tambahan (doping) untuk para pemain untuk memperoleh kemenangan demi kepuasan parqa suporter atau pendukungnya.
The game isn’t the game without its suporters ……. keberadaan suporter telah menjadi bagian tak terpisahkan dari sebuah kesebelasan. Suporter hadir dalam suatu arena pertandingan dengan tujuan untuk mendukung tim kesayangan mereka. Mendukung mental dan moral dan sekaligus meneror mental tim lawan. Ketika dua kelompok suporter ini bertemu disebuah arena pertandigan dengan tujuan yang sama namun berbeda tim yang didukung, maka yang terjadi adalah pertentangan, perang yel-yel, saling ejek dan lain-lain. Dan tidak menutup kemungkinan suasanapun akan menjadi kisruh. Dalang urgent kekisruhan sebenarnya dipacu oleh tidak pusnya pendukung terhadap, peformen pemain, wasit yang dituduh tidak adil, yang berujung dengan kekalahan tim kesayangannya.
Bila dicermati, dari suporter tersebut, suporter – suporter yang memiliki karakter keras dan cenderung bertindak anarkis sebagain besar adalah suporter ynag berasal dari kota. Karena dalam masyarakat perkotaan yang cenderung hidup secara individu kriminalitas dan pengangguran, maka konsep solidaritas mereka belum tertata dengan bagus, sehingga suporter – suporter kota menjadi ganas dan mudah terpancing emosinya.(Wahyudiyono 2004)
Parahnya dari segi ekonomi, pendidikanpun mereka merasa termarjinalkan. Sebenarnya mereka juga merasa bagian dari masyarakat yang ingin teraktualisasi. Disini mereka menjadikan stadion sebagai tempat menumpahkan permasalahan tersebut (Dwi W. Prasetiono).
Machiavelli pernah mengatakan bahwa, kekerasan menjadi absah untuk mempertahankan ancaman dan dapat dipraktekkan oleh penguasa. Mungkin sepak bola sedang menuju ke arah teori ini. Manakala sebuah tim kesayangan mereka mendapat perlakuan tidak adil, spontan saja amuk para pendukungnya menghiasi dan seakan – akan melengkapi manisnya pertandingan. Dalam hal ini belum lagi bila sebuah tim memiliki suporter yang fanatik, hampir dipastikan stadion berubah menjadi lautan amuk masa bila tim kesayangannya kalah atau mendapat perlakuan yang tidak adil.
Dalam cacatan penulis masih ingat di benak pikiran kita pada peristiwa  kerusuhan pada saat perempat final Copa Indonesia pada tanggal 4 september 2006. pendukung Persebaya yang mengatasnamakan Bonekmania mengamuk karena kecewa atas hasil timnya yang ditahan oleh Arema Malang dengan skore 0-0 (sebenarnya pertandingan masih tersisa sekitar 5 menit). Persebaya membutuhkan hasil keunggugulan minimal 2-0, karena pada leg pertama kalah 0-1 dari Arema di Malang. Kekecewaan Bonekmania kemudian dilampiaskan dengan melempari para pemain kedua kesebelasan dan merusak berbagai fasilitas stadion serta menyerang polisi yang sebenarnya berusaha menenangkan keadaan atau mereka. Selain itu, tiga mobil termasuk mobil salah satu stasiun telivisi swasta yang kebetulan sedang meliput pertandingan tersebut rusak diamuk masa. Peristiwa kerusuhan inipun terkenal dengan sebutan ”Asu Semper” (amuk suporter empat September)
Kecintaan yang lebih adalah faktor dari hampir semua itu. Kekhasan untuk menggambarkan manusia dalam persepektif cinta memberikan kesan filosofi yang mendalam bahwa kehidupan seni mencintai (the art of loving). Maka dengan cinta manusia sangat mengerti sifat dasar manusiawinya, yaitu letaknya sebuah kasih sayang. Dan sebaliknya, dengan cinta pula manusia berubah menjadi sadis, ambisius, dan bahkan mematikan (Bambang, 2006 SBTB)
Sepak Bola Dan Multikulturalisme
Pengaruh sepak bola terhadap aktifitas manusia begitu besar. Perhelatan sepak bola seperti Piala Dunia dan Piala Eropa membuat seluruh sendi kehidupan berhenti dan seakan-akan tertuju hanya pada sepak bola. Tidak heran, pakar psikologi sosial dan para antropolog luar negeri menyebut Piala Dunia dan Piala Eropa sebagai ”tribalisme modern” yakni sebuah peperangan antar suku pada masa lampau yang terjadi di abad modern. Setiap bangsa (terutama peserta ajang Piala Dunia dan Piala Eropa) berperang dan bersaing untuk menjadi yang terbaik. Tingkah laku purba(tribal behaviour) yang pali g tampak selama ritus soccer tribe mencul dikalangan penggemar setiap kontestan. Mereka mengecat wajah dengan warna bendera kebangsaan, memakai replika kostum timnas, mengibarkan berbagai bendera dan atribut, serta bersorak dan bernyanyi-nyanyi (Erwin, 2006)
Sepak bola tidak lagi sekedar pertandingan 2 X 45 menit (plus extra time dan adu pinalti), tetapi sepak vola telah memberikan pelajaran terhdap refleksi kemanusiaan kita. Olahraga rebutan bola ini sukses mengobrak – abrik sekat sosial, kultural, etnis, agama, ideologi, dan negara.
Sebelumdekade 1990_an, terjadi pembagian secara rasial (streotipe rasia) mengenai atlitisme dan intelegensi dalam pengaturan posisi pamain sepak bola. Pemain sepak bola diatur kledalam posisi
’sentral” atau menjadi tulang punggung tim seperti penjaga gawang, sweeper (penyapu), midfield playmaker (penagtur irama permainan), dan straiker (penyerang). Posisis – posisi tersebut membutuhkan kecerdasan sehingga dapat membentuk pola permainan yang bagus atau sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan tim. Posisi ini selalu diisi oleh pemain kulit putih yang dianggap mempunyai kecerdasan dalam membentuk pola permainan. Sedangkan pemain kulit hitam cenderung diatur untuk mengisi posisi peripheral (full back atau  back, dan winger pemain sayap), karena kepercayaan rasial pelatih mereka. Pemain kulit hitam dianggap mempunyai intelgensi rendah. Mereka tidak dapat menandingi kecakapan pengambilan keputusan atau konsistensi pemain kulit putih, meskipun kecepatan dan gaya tak teramal mereka sangant esensial di sayap.
Namun kini pembagian posisi pemain  secara rasial tidak berlaku lagi. Negara-negara yang sejatinya ras putih kini makin bergantung pada ras berwarna yang dulu menjadi jajahannya. Lihat saja pada tubuh timnas Prancis, Belanda, dan Inggris yang dijejali ras kulit berwarna dengan sosio-kultur berwarna pula. Negara Jepang yang dulu sangat patriotis dengan kemurnia ras mereka, kini mengambil langkah radikal dengan menaturalisasi pemain bola berbakat dari bangsa lain semata-mata demi kepentingan sepak bola juga. Piala Dunia 2006 di jerman menjadi bukti bahwa sepak bola kini sudah tidak mengenal sekat-sekat sosial, kultural, agama, ideologi, negara, dan sebagainya. Piala Dunia 2006 di Jerman menjadi semacam ironi untuk ”menampar” orang-orang yang senang membuat stigma dan hierarki atas nama kasta, ras, ideologi, dan agama.
Jerman, yang merupakan bangsa keturunan ras Arya, pada masa perang dunia menganggap ras mereka adalah ras yang paling besar dan paling unggul dialam raya ini. Keangkuhan Hitler menyebabkan bangsa tersebut ingin menghancurkan ras lain yang ada di alam raya ini. Namun dewasa ini sepak bola mampu mengubah segalanya. Jerman tidak lagi angkuh seperti dahulu kala. Piala Dunia 2006 menyajikan Jerman yang ramah dan multikultur. Jerman menyambut dengan baik semua orang dari berbagai negara, idoilogi, ras, etnis dan agama. Bahkan dalam tubuh timnas Jerman terdapat juga pemain kulit berwarna hitam, yaitu Gerald Asamoah (pemain kelahiran Ghana). Dalam hal itu juga terjadi dibeberapa negara peserta Piala Dunia 2006. di Asia, Jepang yang terkenal sangat patriotis dan menjunjung tinggi kemurnia ras mereka, akhirnya juga dihuni pemain asal Brasil, yaitu, ”Alex” Santos. Pemain kelahiran 20 Juli 1977 tersebut, memilih memperkuat timnas Jepang sejak tahun 2002. Sejak 1997, ia memperkuat klub setempat Shimizu S. Pulse. Italia yang tampil sebagai pemenang di Piala Dunia 2006 Jerman pada waktu itu juga diperkuat oleh Mauro Camoneresi, pemain tengah Juventus yang senyatanya berdarah negara Argentina.
Hemat saya, prancis-lah wajah nyata multikulturalisme sepak bola. Proses sosial menuju mmasyarakat multikultur di Eropa menemukan bentuk paling nyata di negara Menara Eifel tersebut berada. Pilar yang paling diandalkan didalam tubuh timnas Les Bleus Prancis justru pemain berdarah Aljazair, yaitu Yazid Zinedine Zinane. Pasukan Prancis lainnya juga dihunin oleh barisan kulit berwarna, yakni Patrick Veira yang berdarah Senegal, Lilian Thuram (kelahiran Guadeloupe), dan juga Thiery Hendry (yang orang tuanya sejatinya berasal dari Guadeloupe-Martinique), untuk sekedar menyebut nama. Denyut jantung tim polesan Raymond Domenech tersebut terletak pada anggota tim dari kultur dan ras yang tidak seragam (Erwin, 2006)
Dari berbagai uraian diatas, melalui sepak boal kita dapat belajar bahwa perbedaan kultur bukanlah suatu ancaman yang berbahaya. Justru dalam hal tersebut dapat menjadi modal untuk memperkaya sebuah tim. Setiap orang yang berasal dari kultuir, etnis, ras dan agama yang berbeda tentu mempunyai pola pikir dan cara hidup yang berbeda pula. Akan tetapi, karena perbedaan tersebut itulah, kita semua saling mengetahui tempatnya masing-masing dan saling mengharmati.
Sportifitas sepak bola dapat dimaknai juga dengan sikap inklusif, tidak hanya pemain tetapi juga steakholder (pihak-pihak yang terkait) mulai dari pelatih, penonton, wasit dan lain –lain. Artinya, sepak bola mengajarkan kepada kita untuk menghilangkan segenap etnosentrisme, fanatisme sempit (buta) dan eksklusivisme sempit !!
Manchester United (MU) dan Timnas PSSI AllStar. MAU?
Seandainya pada waktu itu hotel JW. Marriot dan hotel Rilz Charlton tidak hancur oleh bom, mungkin masyarakat Indonesia bisa menyaksikan bagaimana punggawa-punggawa tim PSSI Allstar, melawan tim setan merah (the red devil’s) Manchester United .
Sayang beribu sayang pada tanggal 17 Juli 2009, tak dinyana bom meledak dan menghancurkan hotel yang konon akan digunakan sebai persinggahan club asal Negri kincir angin (Inggris) tersebut. Dampak dari ledakan bom tersebut, memaksa Manchester United, urung menjajal tim PSSI Allstar. Namun apa boleh buat nasi sudah menjadi bubur, MU juga batal datang ke Indonesia. Yang harus dilakukan oleh bagsa kita (Indonesia), saat ini adalah  bagaimana cara membangun bargaining power atau nilai tawar, dengan tujuan mendatangkan kembali kepercayaan dimata Internasional.
Namun pihak Manchester United, menyatakan Indonesia adalah Negara pertama yang diprioritaskan sebagai lawatannya di Asia pada tahun 2011 mendatang. Hemat saya bangsa kita harus gegas bersiap mulai dari sekarang untuk menyambut kedatangan club berjuluk setan merah tersebut. Budi bermain bola, itulah kata-kata ketika kita melihat iklan dilayar kaca televisi dimana pemain-pemian MU sebagai bintang iklannya. Pasca meledaknya bom yang membuat MU batal datang ke Indonesia, maka penulis berpesan “Budi tetaplah bermain bola”.  Ini tak lain adalah sebagai support bagi bangsa Indonesia yang telah mendapat pernyataan dari pihak MU, yang akan menjadikan Indonesia sebagai tujuan utamanya dalam lawatannya ke benua Asia tahun 2011 mendatang.
Dinamika Dalam Sepak Bola.
Sepak bola adalah olahraga yang dimana kita ketahui sebagai olahraga memperebutkan satu bola, dengan tujuan yang sama yakni memenangi sebuah pertandingan. Namun dalam sepak bola tak luput dari tawa dan nestapa. Bagaimana tidak dalam sepak bola kita sering melihat dimana tim yang menang tertawa dan sedangkan yang kalah hanya mengalirkan air mata. Namun setiap pemain pasti tidak mau mengulangi hal-hal yang menyedihkan tersebut terulang kembali. Misalnya kita tahu pada tahun 2004 saat Petric Evra mengeluarkan air mata ketika timnya ketika itu As Monaco dihajar tiga goal tanpa balas oleh FC Porto pada pertandingan final piala Champions. Hal sedih tersebut tidak mau terulang dan Evra berharap rasa tersebut terjadi kepada Jhon Thery pada final berikutnya ketika Manchester United mengalahkan Chelcea, lewat drama adu pinalti pada pertandingan final piala Champions. Sedih yang pernah dialami oleh Petric Evra akhirnya menghampiri Jhon Tery ketika tendangannya dari jarak 12 pas (tendanagn pinalti) melenceng dari arah gawang yang kala itu dijaga oleh Van der Sar. Pada waktu Tery menendang sikulit bundar kaki Tery terpeleset dan akhirnya bolapun melencang kearah kanan gawang padahal posisi Van der Sar sudah terkecoh.
Dari hal diatas kita dapat mengetahui dinamika yang terjadi didalam sepak bola kadang harus mengalirkan air mata dan kadang harus tertawa. Dan juga hal-hal tersebut mungkin pernah dialami oleh setiap pemain sepak bola. Namun saya yakin apa yang telah menimpa para pemain sepak bola tersebut adalah dinamika dalam suatu sepak bola, yang kadang tertawa, suka cita, dan kadang harus duka lara dalam mengarungi suatu pertempuran didalam rumput hijau.
Kegagalan yang telah dialami Tery sa’at gagal mengeksekusi tendangan pinalti, sempat membuat Jhon Tery depresi berat. Ini tak lepas dari ban kapten yang ada di pundaknya. Namun seandainya Tery berdosa dalam kegagalannya tersebut, mungkin Tery boleh menyesal untuk selamanya. Tapi Tery harus melupakan kegagalan tersebut untuk kembali mengarungi lautan lapangan hijau yang sadar mapun tidak terhimpit oleh rasa suka dan duka. Itulah dinamika dalam sepak bola. Namun saya yakin apa yang telah menimpa para pemain sepak bola tersebut adalah dinamika dalam suatu sepak bola, yang kadang tertawa, suka cita, dan kadang harus duka lara dalam mengarungi suatu pertempuran di arena rumput hijau.
(Wahyu Eko Prasetyo/Bolaria)

repost: shepo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berita Sebelumnya