Euforia sepakbola akhir tahun lalu benar-benar membawa dampak yang sangat luar biasa. Adalah sebuah Euforia sepakbola sebagai pestanya masyarakat bola dan rakyat indonesia yang lain yang biasanya gak peduli terhadap sepakbola Indonesia, semua larut dalam kegembiraan ditengah-tengah prestasi sepakbola Indonesia yang bisa dikatakan belum pada puncak. Setidaknya hal itu membangkitkan kepercayaan terhadap timnas Indonesia dibawah asuhan pelatih Alfred Ridle. Dan yang patut dikedepankan adalah semua elemen suporter bersatu padu dalam mendukung timnas. Tak ada lagi perseteruan atau keributan distadion maupun diluar stadion. Demam Garuda didadaku pun melanda negeri ini di semua lapisan.
Terlepas dari euforia atas Timnas kebanggaan itu ada fenomena-fenomena yang patut untuk dicermati. Hal yang menonjol adalah teriakan Nurdin Turun. Tanpa komando seisi stadion teriak dengan lantang Nurdin turun..nurdin turun. Tidak hanya sekali atau dua kali, tapi hampir disetiap pertandingan teriakan itu selalu berkumandang. Bahkan tak sedikit yang membuat spandung dan dipampang di dalam stadion. Berbagai cara dilakukan oleh suporter agar bisa membentangkan spanduk di dalam stadion, karena saat memasuki stadion semua penonton diperiksa barang bawaannya. Bahkan didalam mereka harus berhadapan dengan orang-orang bayarannya Nurdin.
Walaupun tidak terpampang dalam waktu yang lama, setidaknya tulisan Nurdin turun atau bahkan Ganyang Nurdin sudah dibaca oleh puluhan ribu pasang mata atau bahkan jutaan pasang mata yang melihat melalui layar kaca ataupun media cetak yang memasang foto kejadian tersebut. Keributan-keributan kecil kerap terjadi saat tulisan-tulisan tersebut muncul di stadion.
Setelah gelaran AFF usai, tampaknya orang nomor satu di PSSI itu tetap ingin melakukan pencitraan. Beberapa spanduk sempat terpasang dibeberapa titik di Jakarta. Spanduk perlawanan pun tak mau kalah, walaupun hanya hitungan jam spanduk itupun raib.
Kegundahan akan sikap arogansi Nurdin terus menuai kritik dan menimbulkan gerakan Anti Nurdin yang menginginkan lengsernya Nurdin Halid dan kroninya hengkang dari PSSI. Tapi ada pula yang lebih halus "Yang penting bukan Nurdin".
Munculnya liga primer indonesia, yang oleh sebagian orang disebut sebagai liga tandingan tampaknya juga sebagai akibat kekecewaan dari masyarakan sepakbola Indonesia terhadap kinerja PSSI dibawah kendali Nurdin Halid. Kecaman dan dukungan terhadap liga ini pun mengalir.
Anggota Slemania utamanya Slemania Batavia sebagian besar juga menginginkan perubahan di tubuh PSSI, baik itu dari Ketuanya maupun dari program-programnya. Namun sampai saat ini gerakan itu masih sebatas jalan sendiri atas nama pribadi dan belum berani atas nama Slemania.
Beberapa waktu lalu penulis sempat ikut ngumpul bareng dengan orang-orang yang begitu geram dengan tingkah polah Nurdin Halid dan anak buahnya. Pada pertemuan tersebut masih bersifat pertemuan pribadi-pribadi yang intens dan peduli akan nasib sepak bola Indonesia. Diskusi begitu menarik namun belum mampu memutuskan satu pemikiran bersama yang sekiranya bisa menjadi jalan keluar atas keterpurukan sepak bola Indonesia. Memang kita akui bahwa Timnas Indonesia saat ini bisa dibilang lebih baik dibanding dengan beberapa tahun lalu, tapi ini hasil kerja keras seorang Alfred Riedl.
Pertemuan yang dilakukan di bilangan jakarta selatan itu bersifat tertutup, karena dikabarkan Nurdin Halid menyebar mata-mata untuk menggagalkan pertemuan-pertemuan semacam itu. Selang beberapa hari kemudian penulis kembali mendapat undangan untuk menindak lanjuti pertemuan sebelumnya, namun penulis berhalangan. Keesokan harinya penulis mendapat berita bahwa diberitakan telah dibentuk aliansi suporter Indonesia yang terdiri dari beberapa element suporter termasuk didalamnya Slemania. Yang menjadi pertanyaan dari beberapa rekan penulis dan juga penulis sendiri adalah "kenapa kelompok suporter Slemania dimasukan dalam anggota itu?".
Penulis waktu itu langsung menghubungi salah satu rekan penulis yang juga turut hadir dalam acara tersebut. Penulis memprotes dan menganggap bahwa pertemuan di daerah Jakarta Pusat itu sudah tidak murni orang orang yang hadir pada pertemuan sebelumnya. Dan penulis menyayangkan hal itu. Bukannya tidak mau masuk dalam aliansi itu, tapi gelagat tidak baik sudah tampak dari publikasi acara tersebut yang tidak sesuai dengan kenyataan. Bahkan waktu itu saya bilang kalo hal itu justru melemahkan posisi kita untuk melangkah lebih jauh dalam menjaring kekuatan. Memang waktu itu tidak saya sebutkan bahwa ada yang telah memanfaatkan pergerakan ini.
Terlepas dari euforia atas Timnas kebanggaan itu ada fenomena-fenomena yang patut untuk dicermati. Hal yang menonjol adalah teriakan Nurdin Turun. Tanpa komando seisi stadion teriak dengan lantang Nurdin turun..nurdin turun. Tidak hanya sekali atau dua kali, tapi hampir disetiap pertandingan teriakan itu selalu berkumandang. Bahkan tak sedikit yang membuat spandung dan dipampang di dalam stadion. Berbagai cara dilakukan oleh suporter agar bisa membentangkan spanduk di dalam stadion, karena saat memasuki stadion semua penonton diperiksa barang bawaannya. Bahkan didalam mereka harus berhadapan dengan orang-orang bayarannya Nurdin.
Walaupun tidak terpampang dalam waktu yang lama, setidaknya tulisan Nurdin turun atau bahkan Ganyang Nurdin sudah dibaca oleh puluhan ribu pasang mata atau bahkan jutaan pasang mata yang melihat melalui layar kaca ataupun media cetak yang memasang foto kejadian tersebut. Keributan-keributan kecil kerap terjadi saat tulisan-tulisan tersebut muncul di stadion.
Setelah gelaran AFF usai, tampaknya orang nomor satu di PSSI itu tetap ingin melakukan pencitraan. Beberapa spanduk sempat terpasang dibeberapa titik di Jakarta. Spanduk perlawanan pun tak mau kalah, walaupun hanya hitungan jam spanduk itupun raib.
Kegundahan akan sikap arogansi Nurdin terus menuai kritik dan menimbulkan gerakan Anti Nurdin yang menginginkan lengsernya Nurdin Halid dan kroninya hengkang dari PSSI. Tapi ada pula yang lebih halus "Yang penting bukan Nurdin".
Munculnya liga primer indonesia, yang oleh sebagian orang disebut sebagai liga tandingan tampaknya juga sebagai akibat kekecewaan dari masyarakan sepakbola Indonesia terhadap kinerja PSSI dibawah kendali Nurdin Halid. Kecaman dan dukungan terhadap liga ini pun mengalir.
Anggota Slemania utamanya Slemania Batavia sebagian besar juga menginginkan perubahan di tubuh PSSI, baik itu dari Ketuanya maupun dari program-programnya. Namun sampai saat ini gerakan itu masih sebatas jalan sendiri atas nama pribadi dan belum berani atas nama Slemania.
Beberapa waktu lalu penulis sempat ikut ngumpul bareng dengan orang-orang yang begitu geram dengan tingkah polah Nurdin Halid dan anak buahnya. Pada pertemuan tersebut masih bersifat pertemuan pribadi-pribadi yang intens dan peduli akan nasib sepak bola Indonesia. Diskusi begitu menarik namun belum mampu memutuskan satu pemikiran bersama yang sekiranya bisa menjadi jalan keluar atas keterpurukan sepak bola Indonesia. Memang kita akui bahwa Timnas Indonesia saat ini bisa dibilang lebih baik dibanding dengan beberapa tahun lalu, tapi ini hasil kerja keras seorang Alfred Riedl.
Pertemuan yang dilakukan di bilangan jakarta selatan itu bersifat tertutup, karena dikabarkan Nurdin Halid menyebar mata-mata untuk menggagalkan pertemuan-pertemuan semacam itu. Selang beberapa hari kemudian penulis kembali mendapat undangan untuk menindak lanjuti pertemuan sebelumnya, namun penulis berhalangan. Keesokan harinya penulis mendapat berita bahwa diberitakan telah dibentuk aliansi suporter Indonesia yang terdiri dari beberapa element suporter termasuk didalamnya Slemania. Yang menjadi pertanyaan dari beberapa rekan penulis dan juga penulis sendiri adalah "kenapa kelompok suporter Slemania dimasukan dalam anggota itu?".
Penulis waktu itu langsung menghubungi salah satu rekan penulis yang juga turut hadir dalam acara tersebut. Penulis memprotes dan menganggap bahwa pertemuan di daerah Jakarta Pusat itu sudah tidak murni orang orang yang hadir pada pertemuan sebelumnya. Dan penulis menyayangkan hal itu. Bukannya tidak mau masuk dalam aliansi itu, tapi gelagat tidak baik sudah tampak dari publikasi acara tersebut yang tidak sesuai dengan kenyataan. Bahkan waktu itu saya bilang kalo hal itu justru melemahkan posisi kita untuk melangkah lebih jauh dalam menjaring kekuatan. Memang waktu itu tidak saya sebutkan bahwa ada yang telah memanfaatkan pergerakan ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar